Kamis, 01 November 2012

PENGANGGURAN INTELEKTUAL BERTAMBAH 20 PERSEN PER TAHUN


     Ilmu sosial dasar adalah salah satu mata kuliah dasar umum yang merupakan matakuliah wajib yang diberikan di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Tujuan diberikannya mata kuliah ini adalah semata-mata sebagai salah satu usaha yang diharapkan dapat memberikan bekal kepada mahasiswa untuk dapat peduli terhadap masalah – masalah sosial yang terjadi dilingkungan dan dapat memecahkan permasalahan tersebut dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial dasar.

Contoh Kasus :

Jumlah pengangguran tingkat sarjana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, jumlahnya sekitar 740.000, dan awal tahun 2009 bertambah mendekati angka satu juta atau lebih dari 900.000 sarjana yang menganggur. Hal itu disampaikan Rektor Universitas Katolik Atma Jaya, FG Winarno, saat pengukuhan guru besar fakultas teknik Unika Atma Jaya, Prof Hadi Sutanto, di Jakarta, Rabu (17/6). Prof Winarno mengaku prihatin dengan kondisi sarjana yang menganggur saat ini, yang menurutnya memiliki tren kenaikan rata-rata sebesar 20 persen setiap tahun.
Berdasarkan informasi yang diperoleh SP, pada 2005, sarjana yang menganggur sebanyak 183.629 orang. Setahun kemudian, yakni 2006 tercatat 409.890 lulusan tidak memiliki pekerjaan, tahun 2007 menjadi 740.000, dan awal tahun 2009 melonjak mendekati angka satu juta sarjana pengangguran. Hal ini harus diwaspadai, mengingat setiap tahunnya Indonesia memproduksi sekitar 300.000 sarjana dari 2.900 perguruan tinggi.
Menurutnya, makin banyaknya sarjana yang menganggur disebabkan oleh rendahnya soft skill atau keterampilan di luar kemampuan utama dari sarjana yang bersangkutan. "Data itu baru dua minggu lalu saya dapat dari Dikti (Pendidikan Tinggi)," ujarnya.
Dia menjelaskan, untuk mengatasi persoalan pengangguran, perlu hendaknya dikembangkan secara maksimal komitmen wirausaha (entrepreneurship) khususnya di kalangan pemuda. Suatu entrepreneur, kata Prof Winarno, idealnya sedikitnya 2 persen dari jumlah penduduk.
Disebutkan, jumlah entrepreneur di Amerika Serikat telah mencapai angka 2,14 persen pada tahun 1983. Singapura, berdasarkan Global Entrepreneurship Moneter (2005) melaporkan pada tahun 2001 telah mencapai jumlah entrepreneur 2,1 persen, dan menjadi 7,2 persen tahun 2005. "Bandingkan dengan Indonesia yang pada tahun 2006 baru mencapai 0,18 persen atau hanya memiliki 400.000 entrepreneur dari jumlah penduduk 220 juta," ujarnya. Dia melanjutkan, untuk mencapai negara yang dianggap makmur, Indonesia perlu meningkatkan jumlah entrepreneur menjadi 1,1 persen atau menjadi 4,4 juta entrepreneur.

Riset

Sementara itu, selain persoalan sarjana yang menganggur, masalah lain yang masih mendera pendidikan di Tanah Air, yakni lemahnya daya saing riset dalam menunjang ekonomi nasional.
Prof Hadi Sutanto dalam pidato saat dikukuhkan sebagai guru besar fakultas teknik Unika Atma Jaya, mengatakan, jumlah anggaran riset yang disediakan pemerintah hanya 0,07 dari GDP (gross domestic product) tahun 2009.
Angka ini, tutur Prof Hadi, sangat di bawah standar yang disyaratkan badan PBB untuk pendidikan, UNESCO, yakni sebesar 3 persen dari GDP. Sebagai pembanding, katanya, negara tetangga Malaysia mempunyai anggaran riset sebesar satu persen GDP, Singapura 2,2 persen GDP, serta Korea dan Jepang sebagai negara industri lebih dari 3 persen GDP.
"Ketertinggalan ini secara langsung telah menghambat perkembangan iptek di Indonesia dan semakin meningkatkan ketergantungan kita terhadap produk negara lain," katanya.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar